Minggu, 05 Agustus 2012

GOOD GOVERNANCE



Bersamaan dengan reformasi dari sistem politik ke arah yang lebih demokratis, perkembangan dari ekonomi pengarahan (plan) ke ekonomi pasar, berkembang pula pemikiran tentang good governance. Dalam good governance tidak lagi pemerintah (state) yang memegang peranan utama, tetapi masyarakat madani (civil society) dan terutama sektor swasta (privat sector) juga berperan dalam kepemerintahan (governance). Hal itu juga karena adanya perubahan paradigma pembangunan dengan peninjauan ulang peran pemerintah dalam pembangunan, yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi pencipta iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana untuk mendukung dunia usaha. Hal ini dapat dilakukan apabila masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah semakin berdaya.

A.    Paradigma Governance
Tussman (1989) menyatakan bahwa, “Governance not by the best among all of us but by the best within each of us”.  Maksudnya adalah pemerintahan itu dilaksanakan sebaiknya bukan oleh orang-orang terbaik di antara aparatur negara, tetapi justru oleh kemampuan terbaik dari setiap individu aparatur negara yang bersangkutan. Hal ini merupakan konsekuensi dari suatu sistem administrasi publik yang secara seutuhnya berfungsi memberikan pelayanan dan pembinaan kepada masyarakat.
Istilah governance secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pengarahan, pembinaan atau dalam dalam bahasa Inggrisnya adalah guiding.  Governance adalah suatu proses yang mana suatu sistem sosial ekonomi atau sistem organisasi komplek lainnya dikendalikan dan diatur, sebagaimana diungkapkan oleh Paquet (1994) : “It is the proces through which a socio-economic or any other complex organisation is steered”.  Sedangkan Pinto (1994 : 8) mendefinisikan governance dalam hubungan ini akan berarti suatu kegiatan untuk melihat perkembangan dan perubahan pola-pola pikir dan cara pandang, serta pemahaman kita tentang permasalahan yang dihadapi dalam proses peraturan, pembinaan dan pengendalian kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.
Menurut Pequet (1994), perkembangan pengaturan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat melalui suatu sistem kelembagaan publik maupun swasta berlangsung secara evolusi yang hingga dewasa ini diperkirakan telah melalui empat tahapan.  Pertama, adalah tahapan di mana organisasi pemerintahan maupun swasta masih relatif kecil, karena baru dibentuk atau negara yang bersangkutan baru merdeka atau baru didirikan. Dalam kondisi yang demikian biasanya organisasi tersebut dikendalikan oleh seorang pemimpin yang sangat berpengaruh. Kualitas governance cenderung masih sangat sederhana dan cenderung informal (fieldom quality); sistem komunikasi dan informasi yang mengalir dalam proses organisasi ini biasanya berkisar di antara sekelompok kecil pejabat politik atau hanya seputar pemimpin pemerintahan.
Sejalan dengan perkembangan permasalahan dan urusan pemerintahan yang makin kompleks, maka organisasi pemerintahan maupun swasta juga berkembang menjadi lebih besar dan lebih kompleks. Struktur organisasi dikembangkan dengan dilengkapi berbagai aturan perundang-undangan serta prosedur dan tata kerja yang formal sesuai dengan kebutuhan organisasi yang semakin kompleks. Tahap ini merupakan tahap kedua, dimana organisasi telah tumbuh menjadi suatu bentuk organisasi birokratik dengan hirarki pengambilan keputusan dan kekuasaan. Peranan organisasi pemerintahan dan swasta yang besar di banyak negara maju terjadi dalam periode tahun 1940-an hingga tahun 1970-an.  Sedangkan di negara-negara berkembang proses berkembangnya organisasi swasta maupun pemerintah menjadi semakin besar berlangsung hingga tahun 1980. Selama lingkungan strategis pemerintahan maupun swasta secara relatif berada dalam kondisi yang stabil, maka birokrasi pemerintahan maupun swasta dengan berbagai aturan dari prosedurnya masih tetap berlaku secara efektif.  Akan tetapi dengan kondisi lingkungan yang berubah dengan cepat dan permasalahan yang dihadapi juga semakin kompleks dan semakin sulit untuk dipecahkan, maka sistem birokrasi yang besar dan kaku mulai menghadapi permasalahan ketidakberfungsiannya (disfunctional).
Pada tahapan ini mulai terlibat perbedaan antara organisasi pemerintahan dan organisasi swasta. Di sektor swasta, dihadapkan pada kompleksitas lingkungan strategis, mereka dengan segera melakukan proses segmentasi, memecah organisasi mereka ke dalam unit-unit organisasi yang lebih kecil sebagai pusat laba (profit center) atau lazim disebut sebagai strategic business unit (SBU). Sedangkan di sektor publik, dengan sedikit perbedaan dan kesulitan juga telah mulai mengikuti jejak organisasi swasta dengan dibentuknya unit-unit organisasi khusus yang berfungsi secara self-finance atau organisasi swadana.  Program perampingan birokrasi pemerintahan serta deregulasi dijalankan oleh pemerintah untuk mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan strategisnya. Dalam konteks tahapan ketiga ini, maka sistem governance baik di sektor swasta maupun pemerintahan sedikit banyak diatur oleh mekanisme pasar (market driven).
Arus informasi dalam sistem birokrasi yang dikendalikan oleh mekanisme pasar ini ternyata juga terbukti tidak terlalu sempurna.  Operasionalisasi kebijakan publik yang berorientasi kepada pasar atau didasarkan kepada motif efisiensi, dalam kenyataannya tidak mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat berkenaan dengan aspek pemerataan yang berkeadilan (equity). Eksternalitas ekonomi yang berdampak buruk terhadap masyarakat dan lingkungan hidup manusia, ternyata tidak dapat dicegah dan sulit diatasi oleh sistem birokrasi swasta yang berorientasi semata-mata kepada efisiensi ekonomi.  Pola kompetisi yang diperkenalkan dalam sistem birokrasi swasta ternyata cenderung mengesampingkan pentingnya sinergisme pencapaian tujuan organisasi secara umum.
Sedangkan di lingkungan birokrasi pemerintah, persaingan terhadap sumber-sumber organisasi dan persaingan dalam kinerja fungsional masing-masing unit organisasi ternyata telah menimbulkan tumbuhnya egoisme sektoral, egoisme fungsional, bahkan egoisme departemental, sehingga melupakan keterpaduan dan sinkronisasi upaya pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka berkembanglah kebutuhan untuk menciptakan dan membangun kembali dalam unit-unit birokrasi yang terdesentralisasi tersebut, suatu mekanisme hubungan kerja sama informal, yang memberikan suatu suasana kondusif dalam sistem birokrasi dengan ditumbuhkannya nilai-nilai kebersamaan (shared value) dan komitmen terhadap tujuan bersama, yang lazimnya disebut dengan istilah budaya korporat (corporate culture). Inilah esensi dari tahapan terakhir atau tahap keempat evolusi governance dengan pola kesatuan keluarga atau marga (clan system). Dalam menerapkan sistem komunikasi informal antara unit-unit organisasi untuk menciptakan suatu keterpaduan pencapaian tujuan organisasi swasta cenderung lebih maju dan lebih mudah menerapkannya. Sedangkan organisasi di sektor publik tampaknya masih cenderung mengalami kesulitan untuk bisa bergerak diluar berbagai aturan standar yang kaku dan birokratik itu.
Paradigma pemerintahan atau good governance yang cenderung berkembang dalam memasuki abad ke-21 di berbagai negara dewasa ini adalah paradigma  governance berdasarkan mekanisme pasar (market driven governance) dan paradigma keterpaduan (corporate  atau clan system), sedangkan paradigma fieldom dan birokrasi telah mulai ditinggalkan. Dalam paradigma yang dikembangkan dewasa ini, khususnya di Indonesia, kita dapat menyaksikan bahwa pemerintah telah mulai menekankan pentingnya desentralisasi, antara lain dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang meletakkan titik berat otonomi di Kabupaten dan Kota.
Disamping itu, penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat telah mulai diselenggarakan dengan pola yang lebih bersifat informal dan interaktif, dengan memanfaatkan mekanisme pasar dan sistem kekeluargaan (clan system). Pola kemitraan antara pemerintah (state) dengan swasta (market/private sector) dan masyarakat (civil society) pada umumnya sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik adalah perkembangan yang positif dalam praktik paradigma terkini dari sistem governance. Praktik-praktik inilah yang secara operasional merupakan pengejawantahan dari konsepsi good governance.

B.     Konsepsi Good Governance
Perkembangan paradigma governance sebagaimana diuraikan di atas mencerminkan bahwa dalam memasuki abad ke-21 yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, peranan mekanisme pasar semakin  penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Meskipun mekanisme pasar dapat mengalami kegagalan (failures) sebagai akibat faktor eksternalnya, tidak berarti bahwa mekanisme pemerintahan atau administrasi publik menjadi pilihan satu-satunya.  Pada kenyataannya sistem pemerintahan atau administrasi publik juga bisa mengalami kegagalan. Karena itulah, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana menciptakan suatu keseimbangan antara proses optimalisasi peran administrasi publik dengan peran mekanisme pasar, sebab kebutuhan akan good governance dalam administrasi publik adalah sama pentingnya dengan kebutuhan efisiensi mekanisme pasar (Kristiadi, 1997).
Kristiadi (1997 : 19) mengemukakan bahwa “good governance dapat dicapai melalui pengaturan yang tepat fungsi pasar dengan fungsi organisasi termasuk organisasi publik sehingga dicapai transaksi-transaksi dengan biaya transaksi yang paling rendah”. Dengan demikian, dalam konteks globalisasi perekonomian, maka tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan daya saing yang tangguh adalah bagaimana mewujudkan praktik administrasi publik, baik dalam skala makro maupun mikro yang menjamin transaksi berbiaya rendah (economizing). Adapun bentuk administrasi publik yang bercirikan good governance dapat disimak dari pendapat Pinto (1994 : 8) bahwa “Good governance adalah praktik penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya”.
Secara umum governance mengandung unsur-unsur utama yang terdiri : akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), keterbukaan (openness), dan aturan hukum (rule of law) (Bhatta, 1996 : 7). Terhadap keempat unsur tersebut Adamulekun dan Bryant (1994) menambahkan dua unsur lainnya yaitu kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak asasi manusia (human rights). Hak-hak asasi manusia pada dasarnya  merupakan bagian dari unsur governance  (meskipun pada tingkatan pengertian umum dan global). Sedangkan kompetensi manajemen lebih cenderung merupakan akibat atau gejala (symptom) dari adanya good governance dari pada sebagai bagian dari unsur utama. Berikut ini adalah rincian dari keempat unsur utama yang dapat memberikan gambaran bagaimana seharusnya administrasi publik yang bercirikan good governance tersebut.

1.      Akuntabilitas
Akuntabilitas artinya adalah kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penaggungjawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari pemerintahan yang baik (good governance).
Akuntabilitas aparatur pemerintahan ini terdiri dari tiga jenis, yaitu akuntabilitas politik, keuangan dan hukum (Brautigam, 1991 : 13). Akuntabilitas politik berkaitan dengan sistem politik dan sistem pemilu. Sistem politik multi partai dinilai lebih mampu menjamin akuntabilitas politik pemerintah terhadap rakyatnya dari pada pemerintahan dengan sistem politik satu partai. Akuntabilitas keuangan artinya adalah bahwa aparat pemerintah wajib mempertanggung-jawabkan setiap rupiah uang rakyat dalam anggaran belanjanya yang bersumber dari penerimaan pajak dan retribusi. Sedangkan akuntabilitas hukum  mengandung arti bahwa rakyat harus memiliki keyakinan bahwa unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara hukum atas segala tindakannya.  Organisasi pemerintahan yang pada praktiknya telah merugikan kepentingan rakyat (onrechtmatige overheidsdaad), dengan demikian harus mampu mempertanggungjawabkannya dan menerima tuntutan hukum atas tindakan tersebut.

2.      Transparansi
Pemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun  di daerah. Rakyat secara pribadi dapat mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang ditutup-tutupi tentang proses perumusan kebijakan publik dan tindakan pelaksanaannya (implementasinya). Dengan kata lain, segala tindakan dan kebijakan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum.

3.      Keterbukaan
Keterbukaan di sini mengacu kepada terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintahan yang dinilainya tidak transparan. Pemerintah yang baik, yang bersifat transparan dan terbuka akan memberikan informasi data  yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan.
Tentang keterbukaan ini Brautigam (1991 : 21) mengidentifikasikan dua jenis keterbukaan, yaitu ekonomi dan politik. Keterbukaan ekonomi tercermin dari sistem persaingan pasar dengan sedikit mungkin pembatasan (regulasi) oleh pemerintah, serta dilaksanakannya rezim perdagangan bebas dengan sistem tarif (tariff barrier) yang bersifat terbuka pada publik. Sedangkan keterbukaan politik mengacu pada pola persaingan dan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam proses pengambilan keputusan. Permufakatan yang terjadi dalam setiap musyawarah untuk pengambilan keputusan tidak terjadi melalui proses pemaksaan kehendak atau intimidasi, tetapi melalui tahapan argumentasi yang efektif  terhadap setiap perbedaan pendapat yang muncul. Pengambilan suara (voting) untuk menetapkan suatu keputusan akibat terjadinya perbedaan pendapat bukanlah hal yang tabu sepanjang keputusan yang dihasilkan bersifat  mengikat kepada siapa pun yang terlibat, dan tidak ada pemboikotan atas pelaksanaan keputusan hasil pemungutan suara. Di sinilah letak persaingan positif dan toleransi atas perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan.

4.      Aturan Hukum (Rule of Law)
Prinsip rule of law di sini diartikan bahwa good governance mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Oleh karena itu, setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan harus dirumuskan, ditetapkan dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang telah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta memiliki kesempatan untuk mengevaluasinya.  Masyarakat membutuhkan dan harus dapat diyakinkan tentang  tersedianya suatu proses pemecahan masalah, perbedaan pendapat (conflict resolution), dan terdapat prosedur umum untuk membatalkan suatu peraturan perundang-undangan tertentu.
Terpenuhinya unsur-unsur utama (core elements) yang membentuk pola pemerintahan (governance) suatu masyarakat bangsa tertentu dalam segala aspek kehidupannya, akan mencerminkan terdapatnya sistem dan proses penyelenggaraan pemerintahan atau administrasi publik yang bersih dan berwibawa sebagaimana diamanatkan dalam GBHN dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia, serta pengertian good governance dalam konteks yang lebih luas. Dalam hubungan ini, UNDP (1996) merumuskan bahwa ciri-ciri pokok (key features) good governance adalah sebagai berikut  :
1.     Bahwa legitimasi pemerintah diakui dan diterima secara umum oleh rakyatnya;
2.     Bahwa masyarakat memiliki kebebasan individu maupun kelompok untuk berserikat dan berpartisipasi dalam proses pemerintahan, pembangunan pelayanan publik;
3.     Bahwa kerangka landasan hukum telah terbentuk secara jelas dan diketahui, dipahami dan dihormati oleh seluruh lapisan  masyarakat;
4.     Bahwa pemerintah memiliki akuntabilitas yang tinggi serta transparan dalam setiap tindakan dan kebijaknnya;
5.     Bahwa pemerintah selalu menyediakan informasi yang akurat bagi masyarakat untuk mengevaluasi jalannya pemerintahan.

C.     Aktor-aktor dalam konteks Good Governance
Aktor atau institusi dalam good governance meliputi tiga domain yaitu state (negara atau pemerintahan), privat sector/market (sektor swasta atau dunia usaha/pasar), dan civil society (masyarakat madani), adapun ulasan lebih lanjut tentang masing-masing domain tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini  :

1.      Negara (State)
Definisi tentang negara hingga saat ini termasuk dalam katagori yang sangat kontroversial. Pada satu sisi, negara dipahami sebagai organ yang sangat abstrak, sementara itu pada sisi yang lain pengertian negara telah direduksi dalam tingkat analisis yang berbeda-beda.
Definisi abstrak yang banyak dianut oleh para ahli politik adalah definisi negara yang dikemukakan oleh Weber (dalam Roth and Wittich, 1986 : 11), yaitu : “The state are compulsory associations claiming control over territories and the people within them.  Administrative, legal, extractive, and coercive organizations are the core of any state”. Artinya bahwa negara adalah asosiasi pemaksa yang bertugas mengendalikan wilayah dan penduduk yang tinggal dalam  wilayah tersebut melalui pengorganisasian yang bersifat koersif, ekstraktif, legal, dan administratif.
Stepan (1979 : xii) yang nampaknya menganut pandangan Weber di atas, mencoba membuat definisi yang lebih lengkap tentang negara, dengan mengatakan sebagai berikut  :
The state must be cosidered as more than the “government”. It is continues administrative, legal, bureaucratic and coercive ystem that a temt not only to structure relationship between civil society and public authority in apolitiy but also to structure many crucial relationship whitin civil society as well.

Maksudnya negara mempunyai kemampuan, sekaligus bertindak tidak saja untuk menentukan bentuk hubungan antara kewenangan umum dengan hak-hak masyarakat, tetapi juga menentukan banyak bentuk hubungan dalam masyarakat itu sendiri.
Dahl (1961 : 4) dengan mengadopsi definisi politik Laswell yang berbunyi “Who gets What, when, and How ?” menyatakan bahwa negara dapat diidentifikasikan dalam bentuk siapa yang memerintah, bagaimana caranya memerintah, dan dasar apa cara tersebut ditempuh serta dilaksanakan ?
Dalam pembahasan tentang negara, terdapat tiga cakupan pentelaahan, yakni : rejim, pemerintahan, dan komunitas politik. Rejim adalah the rule of game, atau aturan permainan politik fundamental dalam masyarakat politik. Aturan permainan ini dapat didasarkan pada ideologi, konstitusi dan simbol-simbol politik utama (primarily political symbols) lainnya, yang dijadikan sebagai pegangan serta pedoman seluruh anggota masyarakat politik untuk mengatur interaksi antara individu dan atau kelompok yang satu dengan yang lain.
Namun demikian, pandangan yang bersifat legal formal di atas menurut sementara pengamat tidak dapat menggambarkan bagaimana kenyataan atau realitas politik yang sebenarnya berlaku. Oleh karena itu, menurut kaum behavioralist bahwa rejim sebenarnya lebih menunjuk pada aturan permainan yang secara nyata berlaku, yang tercermin pada perilaku para aktor dan lembaga-lembaga politik dalam suatu mekanisme kehidupan politik. Dari perilaku ini, dapat diidentifikasikan adanya tipe-tipe rejim, seperti : rejim demokrasi, semi otoriter, dan otoriter. Adapun pemerintahan adalah lembaga-lembaga politik dan adminitratif formal yang membuat kebijakan dan mengambil keputusan-keputusan kolektif.  Sedangkan komunitas politik mencakup organisasi dan kesadaran politik yang lebih luas, level di mana nilai-nilai fundamental dalam mayarakat politik (polity) berkoherensi dengan tuntutan-tuntutan utama untuk beradaptasi terhadap lingkungan politiknya (Johnson, 1966 : 140 – 141).
Pembahasan tentang negara ditilik dari dimensi aturan permainan yang berlaku akan menghasilkan gambaran bagaimana kekuasaan dalam sebuah negara beroperasi; yakni meliputi karakteristik, pola-pola kewenangan, dan struktur kekuasaan itu tersusun. Pembahasan dari dimensi pemerintahan adalah terfokus pada masalah bagaimana kebijakan umum dan keputusan kolektif dibuat serta diambil, yang kemudian dilaksanakan dalam suatu negara. Sementara itu, penelaahan dari dimensi komunitas politik lebih menitikberatkan kepada pola hubungan antara kewenangan umum dengan civil society (yang termasuk dalam kategori ini adalah hak-hak dan kewajiban warga negara, baik secara individual maupun kelompok) dalam masyarakat politik (state-society relationship).
Ketiga tingkat pembahasan tersebut bersifat sekuensial dan konsekuensial. Artinya, dari eksplorasi yang menghasilkan tipe rejim tertentu, pada tahap berikutnya dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana mekanisme pemerintahan ini, akan dapat disusun suatu pola hubungan antara negara dengan masyarakatnya.
Stocpol (1985) mengatakan bahwa teori-teori tentang negara dalam ilmu-ilmu sosial dapat dibagi dalam dua pendekatan besar, yakni society-centered, dan state-centered. Perbedaan pokok antara kedua pendekatan ini adalah terletak pada bagaimana keberadaan negara (state) vis-à-vis warga negaranya (civil society).
Asumsi dasar dari pendekatan society centered menyatakan bahwa negara merupakan arena kompetisi dan pertarungan kepentingan-kepentingan masyarakatnya. Dalam pandangan ini, negara adalah organ yang terlibat sebagai sekedar “alat”. Dengan sendirinya, negara dalam hal ini merupakan organ yang netral dan tidak otonom.
Sebagai organ yang memiliki otonomi relatif, negara bukan merupakan organ yang netral. Akan tetapi, ketidaknetralan negara bukan disebabkan oleh pengaruh-pengaruh masyarakatnya semata (karena tidak otonom), melainkan negara ternyata juga mempunyai kepentingan dan dalam perilakunya selalu berorientasi kepada pencapaian kepentingan sendiri.
Pendek kata, dapat dirumuskan bahwa pandangan society-centered melihat negara hanya sebagai “arena”, sementara itu pandangan state-centered  berasumsi bahwa negara adalah “aktor” politik. Di samping itu, teori-teori yang dikembangkan di Eropa dan Amerika Serikat, yakni perspektif pluralis dan structural-fungsional termasuk dalam katagori society-centered. Termasuk dalam kubu ini adalah pandangan Marxis klasik tentang negara yang  menyatakan bahwa negara alat dari kelompok ekonomi dominan (kaum borjuis), yang dipergunakan untuk mempertahankan dominasinya. Sedangkan teori-teori Marx yang dimodifikasi sehingga menjadi aliran yang dikenal dengan dengan Neo-Marxist dan pendekatan struktural non-Marxist (Weberian) termasuk dalam kubu state-centered (Stocpol, 1985).

2.      Masyarakat (Civil Society)
Istilah civil society banyak padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu antara lain masyarakat warga atau kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab atau berbudaya, dan yang paling populer adalah masyarakat madani.  
Wacana tentang civil society yang mulai berkembang sejak tahun 1990-an setelah mengalami kemajuan yang demikian pesat. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah era baru (new era) dalam diskursus ilmu sosial di negara yang sebelumnya menganut sistem politik otoriter, terutama di negara Dunia Ketiga seperti Indonesia, sehingga dengan perkembangan civil society menandakan adanya enlightment atau pencerahan. Bergeraknya wacana civil society dapat dikatakan sebagai tanda-tanda jaman yang mulai berubah dari otoritarian-diktatorian ke arah yang relatif lebih baik, sekalipun mungkin belum dapat dikatakan demokratis.  Tetapi dari wacana civil society yang terus berkembang, agaknya perkembangan ke arah demokrasi sebuah bangsa akan mulai tampak (Parera dan Koekertis, 1999 : 157). 
Upaya untuk membangun civil society harus mengikutsertakan semua kelompok masyarakat dengan mengarah terhadap terwujudnya aktif semua elemen masyarakat. Konsep pembangunan juga harus diubah dari program top down menjadi program bottom up. Dengan demikian pembangunan tersebut didasari oleh konsep “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Partisipasi masyarakat secara aktif mulai dari proses perencanaan masyarakat madani yang penuh dengan ketentraman dan kedamaian. Pemerintah akan memfasilitasi kebutuhan masyarakat melalui pembangunan infrastruktur ataupun melalui penyediaan hukum dan perundang-undangan.
Civil society dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain : kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya (Hikam, 1999 : 3).
Civil society secara institusional bisa diartikan sebagai pengelompokan dari anggota-anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praktis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya.  Termasuk didalamnya adalah jaringan-jaringan, pengelompokan-pengelompokan sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga, organisasi-organisasi sukarela (termasuk partai politik), sampai dengan organisasi-organisasi yang mungkin pada awalnya dibentuk oleh negara, tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu sebagai perantara dari negara di satu pihak dan individu dan masyarakat di pihak lain (Hikam, 1999 : 65)
Walker (1995) mengemukakan bahwa Civil society merupakan suatu space atau ruang yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain, dan dalam ruang tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat suka rela dan terbangun sebuah jaringan hubungan diantara asosiasi tersebut. Asosiasi tersebut bisa dalam bentuk bermacam-macam, ikatan pengajian, perkumpulan gereja, koperasi, kalangan bisnis, rukun tetangga dan rukun warga, ikatan profesi, LSM, dan lain sebagainya, hubungannya dikembangkan atas dasar toleransi dan saling menghargai satu sama lain.
Civil society merupakan suatu bentuk hubungan antara negara dengan sejumlah kelompok sosial, misalnya keluarga, kalangan bisnis, asosiasi masyarakat dan gerakan sosial yang ada dalam negara, namun sifatnya independen terhadap negara (Eisenstadt dalam Lipset, 1995 : 240). Jadi, civil society adalah sebuah masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok, dalam negara yang mampu berinteraksi dengan negara secara independen.
Lebih lanjut Eisenstadt (dalam Lipset, 1995 : 240) menyatakan, bahwa masyarakat tersebut bukanlah masyarakat yang secara mudah kita artikan. Tetapi masyarakat yang memiliki komponen tertentu sebagai syarat adanya civil society itu. Komponen tersebut meliputi empat hal : (1) otonomi; (2) akses masyarakat terhadap lembaga negara; (3) arena publik yang bersifat otonom; dan (4) arena publik tersebut terbuka bagi semua lapisan masyarakat.

3.      Sektor Swasta (Market / Privat Sector)
Mengacu pada istilah Williamson & Barney dan Oucki (dalam Tjokroamidjojo, 2000 : 9) dikemukakan bahwa “good governance” dapat dicapai melalui pengaturan yang tepat dari fungsi pasar (market) dengan fungsi organisasi termasuk organisasi publik sehingga dicapai transaksi-transaksi dengan biaya transaksi yang lebih rendah.
Lebih lanjut Tjokroamidjojo (2000 : 9) mengungkapkan bahwa mekanisme pasar dan demokrasi menjadi saringan pengambilan keputusan masyarakat yang memberikan medan persaingan yang sama (a level playing field) bagi semua, untuk melakukan kegiatan (usaha) dalam hidup bermasyarakat. Sedangkan tipe ideal good governance adalah dimana terjadi suatu pengurusan yang compatible yang saling mendukung antara : ekonomi pasar (mekanisme pasar yang sehat/fair), rule of law  dan  concern for environment.
Giddens (1999 : 75) menawarkan alternatif politik jalan ketiga (the third way) khususnya tentang demokrasi sosial (social democracy) yang pada intinya menyatakan, bahwa pemerintah memiliki sekumpulan tanggung jawab bagi warganya dan warga negara yang lainnya, termasuk perlindungan atas mereka yang lemah. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan perlindungan terhadap pelaku pasar yang lemah (pengusaha kecil, petani dan pengusaha menengah) atau yang lebih dikenal dengan “ekonomi kerakyatan”, sehingga tercipta suatu mekanisme pasar yang berkeadilan sehingga memungkinkan setiap warga masyarakat untuk bebas berusaha sesuai keahlian dan kemampuannya tanpa campur tangan pemerintah sepanjang tidak melanggar norma-norma persaingan sehat (fair competition).
Di sisi lain Abdul Wahab (1999) memperingatkan bahwa “proteksi politik terhadap ekonomi rakyat dalam implementasinya hendaklah dilakukan dengan arif, jangan sampai menimbulkan dampak yang merugikan (counter productive), semisal mendistorsi mekanisme pasar”.
Ada anggapan bahwa sektor swasta (privat sector) adalah bagian dari masyarakat. Namun demikian sektor swasta dapat dibedakan dengan masyarakat karena sektor swasta mempunyai pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial, politik dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan kalangan dunia usaha. Adapun yang dimaksud dengan sektor swasta adalah meliputi perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak diberbagai bidang dan sektor informal lain di pasar (LAN dan BPKP, 2000 : 6).


Daftar Pustaka

Brautigam, Deborah, 1991, Governance and Economy : A Review; Policy Research Working Papers, World Bank, Washington DC.

Bhatta,   Gambhir, 1996, "Capacity Building at the Local Level for Effective Governance; Empowerment Without Capacity is Meaningless”; Paper presented in the International Conference on Governance Innovation: Building the Government-Citizen Business Partnership, October 20-23, Manila, Philippines.

Dahl,   Robert A., 1985, Dilema Demokrasi Pluralis : antara Otonomi dan Kontrol, Rajawali Pers, Jakarta.

Giddens, Antthony, 1999, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hikam, Mohammad AS., 1999, Demokrasi dan Civil society, Pustaka LP3ES, Jakarta.

Kristiadi, J. B., 1997, Perspektif Administrasi Publik Menghadapi Tantangan abad 21, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tidak Tetap dalam Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjajaran, tanggal 6 Oktober 1997, Bandung, Universitas Padjajaran.

LAN dan BPKP, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance – modul 1 sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), Jakarta

Paquet, Gilles, 1994, "Paradigm of Governance", dalam Canadian Centre for Management Development (1994), Rethinking Government, The Dewar Series: Perspective on Public Management, Exploration no. 2, Ministry of Supply and Services Canada, Canada

Tjokroamidjojo, Bintoro, 2000, Good governance ‑ Paradigma Baru Manajemen Pembangunan, Makalah dipresentasikan dalam rangka Wisuda Sarjana S1 XIII Universitas Pawyatan Daha Tahun Akademik 1999/2000, Kediri.

Tussman, Joseph, 1989, The Barden of Office: Agamemnon and Other Losers, Talon Books, Washington DC.