Bersamaan
dengan reformasi dari sistem politik ke arah yang lebih demokratis,
perkembangan dari ekonomi pengarahan (plan)
ke ekonomi pasar, berkembang pula pemikiran tentang good governance. Dalam good
governance tidak lagi pemerintah (state)
yang memegang peranan utama, tetapi masyarakat madani (civil society) dan terutama sektor swasta (privat sector) juga berperan dalam kepemerintahan (governance). Hal itu juga karena adanya
perubahan paradigma pembangunan dengan peninjauan ulang peran pemerintah dalam
pembangunan, yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi
pencipta iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana untuk mendukung
dunia usaha. Hal ini dapat dilakukan apabila masyarakat dan sektor swasta sendiri
sudah semakin berdaya.
A.
Paradigma Governance
Tussman (1989) menyatakan bahwa, “Governance
not by the best among all of us but by the best within each of us”. Maksudnya adalah pemerintahan itu
dilaksanakan sebaiknya bukan oleh orang-orang terbaik di antara aparatur
negara, tetapi justru oleh kemampuan terbaik dari setiap individu aparatur
negara yang bersangkutan. Hal ini merupakan konsekuensi dari suatu sistem
administrasi publik yang secara seutuhnya berfungsi memberikan pelayanan dan
pembinaan kepada masyarakat.
Istilah governance secara
harfiah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pengarahan, pembinaan atau dalam
dalam bahasa Inggrisnya adalah guiding. Governance
adalah suatu proses yang mana suatu sistem sosial ekonomi atau sistem
organisasi komplek lainnya dikendalikan dan diatur, sebagaimana diungkapkan
oleh Paquet (1994) : “It is the proces
through which a socio-economic or any other complex organisation is steered”. Sedangkan Pinto (1994 : 8) mendefinisikan governance dalam hubungan ini akan berarti
suatu kegiatan untuk melihat perkembangan dan perubahan pola-pola pikir dan
cara pandang, serta pemahaman kita tentang permasalahan yang dihadapi dalam
proses peraturan, pembinaan dan pengendalian kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat.
Menurut Pequet (1994), perkembangan pengaturan kehidupan
sosial-ekonomi masyarakat melalui suatu sistem kelembagaan publik maupun swasta
berlangsung secara evolusi yang hingga dewasa ini diperkirakan telah melalui
empat tahapan. Pertama, adalah tahapan
di mana organisasi pemerintahan maupun swasta masih relatif kecil, karena baru
dibentuk atau negara yang bersangkutan baru merdeka atau baru didirikan. Dalam
kondisi yang demikian biasanya organisasi tersebut dikendalikan oleh seorang
pemimpin yang sangat berpengaruh. Kualitas governance
cenderung masih sangat sederhana dan cenderung informal (fieldom quality); sistem komunikasi dan informasi yang mengalir
dalam proses organisasi ini biasanya berkisar di antara sekelompok kecil
pejabat politik atau hanya seputar pemimpin pemerintahan.
Sejalan dengan perkembangan permasalahan dan urusan pemerintahan yang
makin kompleks, maka organisasi pemerintahan maupun swasta juga berkembang
menjadi lebih besar dan lebih kompleks. Struktur organisasi dikembangkan dengan
dilengkapi berbagai aturan perundang-undangan serta prosedur dan tata kerja
yang formal sesuai dengan kebutuhan organisasi yang semakin kompleks. Tahap ini
merupakan tahap kedua, dimana organisasi telah tumbuh menjadi suatu bentuk
organisasi birokratik dengan hirarki pengambilan keputusan dan kekuasaan.
Peranan organisasi pemerintahan dan swasta yang besar di banyak negara maju
terjadi dalam periode tahun 1940-an hingga tahun 1970-an. Sedangkan di negara-negara berkembang proses
berkembangnya organisasi swasta maupun pemerintah menjadi semakin besar
berlangsung hingga tahun 1980. Selama lingkungan strategis pemerintahan maupun
swasta secara relatif berada dalam kondisi yang stabil, maka birokrasi
pemerintahan maupun swasta dengan berbagai aturan dari prosedurnya masih tetap
berlaku secara efektif. Akan tetapi
dengan kondisi lingkungan yang berubah dengan cepat dan permasalahan yang
dihadapi juga semakin kompleks dan semakin sulit untuk dipecahkan, maka sistem
birokrasi yang besar dan kaku mulai menghadapi permasalahan ketidakberfungsiannya
(disfunctional).
Pada tahapan ini mulai terlibat perbedaan antara organisasi
pemerintahan dan organisasi swasta. Di sektor swasta, dihadapkan pada
kompleksitas lingkungan strategis, mereka dengan segera melakukan proses
segmentasi, memecah organisasi mereka ke dalam unit-unit organisasi yang lebih
kecil sebagai pusat laba (profit center)
atau lazim disebut sebagai strategic
business unit (SBU). Sedangkan di
sektor publik, dengan sedikit perbedaan dan kesulitan juga telah mulai
mengikuti jejak organisasi swasta dengan dibentuknya unit-unit organisasi
khusus yang berfungsi secara self-finance
atau organisasi swadana. Program
perampingan birokrasi pemerintahan serta deregulasi dijalankan oleh pemerintah
untuk mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan strategisnya. Dalam
konteks tahapan ketiga ini, maka sistem governance
baik di sektor swasta maupun pemerintahan sedikit banyak diatur oleh mekanisme
pasar (market driven).
Arus informasi dalam sistem birokrasi yang dikendalikan oleh mekanisme
pasar ini ternyata juga terbukti tidak terlalu sempurna. Operasionalisasi kebijakan publik yang
berorientasi kepada pasar atau didasarkan kepada motif efisiensi, dalam
kenyataannya tidak mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat berkenaan dengan
aspek pemerataan yang berkeadilan (equity).
Eksternalitas ekonomi yang berdampak buruk terhadap masyarakat dan lingkungan
hidup manusia, ternyata tidak dapat dicegah dan sulit diatasi oleh sistem
birokrasi swasta yang berorientasi semata-mata kepada efisiensi ekonomi. Pola kompetisi yang diperkenalkan dalam
sistem birokrasi swasta ternyata cenderung mengesampingkan pentingnya
sinergisme pencapaian tujuan organisasi secara umum.
Sedangkan di lingkungan birokrasi pemerintah, persaingan terhadap
sumber-sumber organisasi dan persaingan dalam kinerja fungsional masing-masing
unit organisasi ternyata telah menimbulkan tumbuhnya egoisme sektoral, egoisme
fungsional, bahkan egoisme departemental, sehingga melupakan keterpaduan dan
sinkronisasi upaya pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka berkembanglah kebutuhan untuk
menciptakan dan membangun kembali dalam unit-unit birokrasi yang
terdesentralisasi tersebut, suatu mekanisme hubungan kerja sama informal, yang
memberikan suatu suasana kondusif dalam sistem birokrasi dengan ditumbuhkannya
nilai-nilai kebersamaan (shared value)
dan komitmen terhadap tujuan bersama, yang lazimnya disebut dengan istilah
budaya korporat (corporate culture).
Inilah esensi dari tahapan terakhir atau tahap keempat evolusi governance dengan pola kesatuan keluarga
atau marga (clan system). Dalam
menerapkan sistem komunikasi informal antara unit-unit organisasi untuk
menciptakan suatu keterpaduan pencapaian tujuan organisasi swasta cenderung
lebih maju dan lebih mudah menerapkannya. Sedangkan organisasi di sektor publik
tampaknya masih cenderung mengalami kesulitan untuk bisa bergerak diluar
berbagai aturan standar yang kaku dan birokratik itu.
Paradigma pemerintahan atau good
governance yang cenderung berkembang dalam memasuki abad ke-21 di berbagai
negara dewasa ini adalah paradigma governance berdasarkan mekanisme pasar (market driven governance) dan paradigma
keterpaduan (corporate atau clan
system), sedangkan paradigma fieldom
dan birokrasi telah mulai ditinggalkan. Dalam paradigma yang dikembangkan
dewasa ini, khususnya di Indonesia, kita dapat menyaksikan bahwa pemerintah
telah mulai menekankan pentingnya desentralisasi, antara lain dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang
meletakkan titik berat otonomi di Kabupaten dan Kota.
Disamping itu, penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat telah mulai diselenggarakan dengan
pola yang lebih bersifat informal dan interaktif, dengan memanfaatkan mekanisme
pasar dan sistem kekeluargaan (clan
system). Pola kemitraan antara pemerintah (state) dengan swasta (market/private
sector) dan masyarakat (civil society)
pada umumnya sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan
fungsi pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik adalah perkembangan yang
positif dalam praktik paradigma terkini dari sistem governance. Praktik-praktik inilah yang secara operasional
merupakan pengejawantahan dari konsepsi good
governance.
B.
Konsepsi Good
Governance
Perkembangan paradigma governance
sebagaimana diuraikan di atas mencerminkan bahwa dalam memasuki abad ke-21 yang
ditandai dengan globalisasi ekonomi, peranan mekanisme pasar semakin penting dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Meskipun mekanisme pasar dapat mengalami kegagalan (failures) sebagai akibat faktor
eksternalnya, tidak berarti bahwa mekanisme pemerintahan atau administrasi
publik menjadi pilihan satu-satunya.
Pada kenyataannya sistem pemerintahan atau administrasi publik juga bisa
mengalami kegagalan. Karena itulah, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana
menciptakan suatu keseimbangan antara proses optimalisasi peran administrasi
publik dengan peran mekanisme pasar, sebab kebutuhan akan good governance dalam administrasi publik adalah sama pentingnya
dengan kebutuhan efisiensi mekanisme pasar (Kristiadi, 1997).
Kristiadi (1997 : 19) mengemukakan bahwa “good governance dapat dicapai melalui pengaturan yang tepat fungsi
pasar dengan fungsi organisasi termasuk organisasi publik sehingga dicapai
transaksi-transaksi dengan biaya transaksi yang paling rendah”. Dengan
demikian, dalam konteks globalisasi perekonomian, maka tantangan yang dihadapi
dalam mewujudkan daya saing yang tangguh adalah bagaimana mewujudkan praktik
administrasi publik, baik dalam skala makro maupun mikro yang menjamin
transaksi berbiaya rendah (economizing).
Adapun bentuk administrasi publik yang bercirikan good governance dapat disimak dari pendapat Pinto (1994 : 8) bahwa
“Good governance adalah praktik
penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan
urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya”.
Secara umum governance
mengandung unsur-unsur utama yang terdiri : akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency),
keterbukaan (openness), dan aturan hukum
(rule of law) (Bhatta, 1996 : 7).
Terhadap keempat unsur tersebut Adamulekun dan Bryant (1994) menambahkan dua
unsur lainnya yaitu kompetensi manajemen (management
competence) dan hak-hak asasi manusia (human
rights). Hak-hak asasi manusia pada dasarnya merupakan bagian dari unsur governance (meskipun pada tingkatan pengertian umum dan
global). Sedangkan kompetensi manajemen lebih cenderung merupakan akibat atau
gejala (symptom) dari adanya good governance dari pada sebagai bagian
dari unsur utama. Berikut ini adalah rincian dari keempat unsur utama yang
dapat memberikan gambaran bagaimana seharusnya administrasi publik yang
bercirikan good governance tersebut.
1.
Akuntabilitas
Akuntabilitas artinya adalah kewajiban bagi aparatur pemerintahan
untuk bertindak selaku penaggungjawab dan penanggung gugat atas segala tindakan
dan kebijakan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari pemerintahan
yang baik (good governance).
Akuntabilitas aparatur pemerintahan ini terdiri dari tiga jenis, yaitu
akuntabilitas politik, keuangan dan hukum (Brautigam, 1991 : 13). Akuntabilitas
politik berkaitan dengan sistem politik dan sistem pemilu. Sistem politik multi
partai dinilai lebih mampu menjamin akuntabilitas politik pemerintah terhadap
rakyatnya dari pada pemerintahan dengan sistem politik satu partai.
Akuntabilitas keuangan artinya adalah bahwa aparat pemerintah wajib
mempertanggung-jawabkan setiap rupiah uang rakyat dalam anggaran belanjanya
yang bersumber dari penerimaan pajak dan retribusi. Sedangkan akuntabilitas
hukum mengandung arti bahwa rakyat harus
memiliki keyakinan bahwa unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara
hukum atas segala tindakannya.
Organisasi pemerintahan yang pada praktiknya telah merugikan kepentingan
rakyat (onrechtmatige overheidsdaad),
dengan demikian harus mampu mempertanggungjawabkannya dan menerima tuntutan
hukum atas tindakan tersebut.
2.
Transparansi
Pemerintahan yang baik akan bersifat transparan
terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Rakyat secara pribadi dapat
mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang ditutup-tutupi tentang proses
perumusan kebijakan publik dan tindakan pelaksanaannya (implementasinya).
Dengan kata lain, segala tindakan dan kebijakan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan
diketahui umum.
3.
Keterbukaan
Keterbukaan di sini mengacu kepada terbukanya kesempatan bagi rakyat
untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintahan yang dinilainya
tidak transparan. Pemerintah yang baik, yang bersifat transparan dan terbuka
akan memberikan informasi data yang
memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas jalannya
pemerintahan.
Tentang keterbukaan ini Brautigam (1991 : 21) mengidentifikasikan dua
jenis keterbukaan, yaitu ekonomi dan politik. Keterbukaan ekonomi tercermin
dari sistem persaingan pasar dengan sedikit mungkin pembatasan (regulasi) oleh
pemerintah, serta dilaksanakannya rezim perdagangan bebas dengan sistem tarif (tariff barrier) yang bersifat terbuka
pada publik. Sedangkan keterbukaan politik mengacu pada pola persaingan dan
toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam proses pengambilan keputusan.
Permufakatan yang terjadi dalam setiap musyawarah untuk pengambilan keputusan
tidak terjadi melalui proses pemaksaan kehendak atau intimidasi, tetapi melalui
tahapan argumentasi yang efektif
terhadap setiap perbedaan pendapat yang muncul. Pengambilan suara (voting) untuk menetapkan suatu keputusan
akibat terjadinya perbedaan pendapat bukanlah hal yang tabu sepanjang keputusan
yang dihasilkan bersifat mengikat kepada
siapa pun yang terlibat, dan tidak ada pemboikotan atas pelaksanaan keputusan
hasil pemungutan suara. Di sinilah letak persaingan positif dan toleransi atas
perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan.
4.
Aturan Hukum (Rule
of Law)
Prinsip rule of law di sini
diartikan bahwa good governance
mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Oleh karena itu,
setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan harus dirumuskan, ditetapkan
dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang telah melembaga dan diketahui
oleh masyarakat umum, serta memiliki kesempatan untuk mengevaluasinya. Masyarakat membutuhkan dan harus dapat
diyakinkan tentang tersedianya suatu
proses pemecahan masalah, perbedaan pendapat (conflict resolution), dan terdapat prosedur umum untuk membatalkan
suatu peraturan perundang-undangan tertentu.
Terpenuhinya unsur-unsur utama (core
elements) yang membentuk pola pemerintahan (governance) suatu masyarakat bangsa tertentu dalam segala aspek
kehidupannya, akan mencerminkan terdapatnya sistem dan proses penyelenggaraan
pemerintahan atau administrasi publik yang bersih dan berwibawa sebagaimana
diamanatkan dalam GBHN dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia, serta
pengertian good governance dalam
konteks yang lebih luas. Dalam hubungan ini, UNDP (1996) merumuskan bahwa
ciri-ciri pokok (key features) good governance adalah sebagai
berikut :
1.
Bahwa legitimasi pemerintah diakui dan diterima secara
umum oleh rakyatnya;
2.
Bahwa masyarakat memiliki kebebasan individu maupun
kelompok untuk berserikat dan berpartisipasi dalam proses pemerintahan,
pembangunan pelayanan publik;
3.
Bahwa kerangka landasan hukum telah terbentuk secara
jelas dan diketahui, dipahami dan dihormati oleh seluruh lapisan masyarakat;
4.
Bahwa pemerintah memiliki akuntabilitas yang tinggi
serta transparan dalam setiap tindakan dan kebijaknnya;
5.
Bahwa pemerintah selalu menyediakan informasi yang
akurat bagi masyarakat untuk mengevaluasi jalannya pemerintahan.
C.
Aktor-aktor
dalam konteks Good Governance
Aktor atau institusi dalam good
governance meliputi tiga domain yaitu state
(negara atau pemerintahan), privat
sector/market (sektor swasta atau dunia usaha/pasar), dan civil society (masyarakat madani),
adapun ulasan lebih lanjut tentang masing-masing domain tersebut dapat disimak
pada uraian berikut ini :
1. Negara
(State)
Definisi tentang negara hingga saat ini termasuk dalam katagori yang
sangat kontroversial. Pada satu sisi, negara dipahami sebagai organ yang sangat
abstrak, sementara itu pada sisi yang lain pengertian negara telah direduksi
dalam tingkat analisis yang berbeda-beda.
Definisi abstrak yang banyak dianut oleh para ahli politik adalah
definisi negara yang dikemukakan oleh Weber (dalam Roth and Wittich, 1986 :
11), yaitu : “The state are compulsory
associations claiming control over territories and the people within them. Administrative, legal, extractive, and
coercive organizations are the core of any state”. Artinya bahwa negara
adalah asosiasi pemaksa yang bertugas mengendalikan wilayah dan penduduk yang
tinggal dalam wilayah tersebut melalui
pengorganisasian yang bersifat koersif, ekstraktif, legal, dan administratif.
Stepan (1979 : xii) yang nampaknya
menganut pandangan Weber di atas, mencoba membuat definisi yang lebih lengkap
tentang negara, dengan mengatakan sebagai berikut :
The state must
be cosidered as more than the “government”. It is continues administrative,
legal, bureaucratic and coercive ystem that a temt not only to structure
relationship between civil society and public authority in apolitiy but also to
structure many crucial relationship whitin civil society as well.
Maksudnya negara mempunyai kemampuan,
sekaligus bertindak tidak saja untuk menentukan bentuk hubungan antara
kewenangan umum dengan hak-hak masyarakat, tetapi juga menentukan banyak bentuk
hubungan dalam masyarakat itu sendiri.
Dahl (1961 : 4) dengan mengadopsi
definisi politik Laswell yang berbunyi “Who
gets What, when, and How ?” menyatakan bahwa negara dapat diidentifikasikan
dalam bentuk siapa yang memerintah, bagaimana caranya memerintah, dan dasar apa
cara tersebut ditempuh serta dilaksanakan ?
Dalam pembahasan tentang negara,
terdapat tiga cakupan pentelaahan, yakni : rejim, pemerintahan, dan komunitas
politik. Rejim adalah the rule of game,
atau aturan permainan politik fundamental dalam masyarakat politik. Aturan
permainan ini dapat didasarkan pada ideologi, konstitusi dan simbol-simbol
politik utama (primarily political
symbols) lainnya, yang dijadikan sebagai pegangan serta pedoman seluruh
anggota masyarakat politik untuk mengatur interaksi antara individu dan atau
kelompok yang satu dengan yang lain.
Namun demikian, pandangan yang
bersifat legal formal di atas menurut sementara pengamat tidak dapat
menggambarkan bagaimana kenyataan atau realitas politik yang sebenarnya
berlaku. Oleh karena itu, menurut kaum behavioralist bahwa rejim sebenarnya
lebih menunjuk pada aturan permainan yang secara nyata berlaku, yang tercermin
pada perilaku para aktor dan lembaga-lembaga politik dalam suatu mekanisme
kehidupan politik. Dari perilaku ini, dapat diidentifikasikan adanya tipe-tipe
rejim, seperti : rejim demokrasi, semi otoriter, dan otoriter. Adapun
pemerintahan adalah lembaga-lembaga politik dan adminitratif formal yang
membuat kebijakan dan mengambil keputusan-keputusan kolektif. Sedangkan komunitas politik mencakup
organisasi dan kesadaran politik yang lebih luas, level di mana nilai-nilai
fundamental dalam mayarakat politik (polity)
berkoherensi dengan tuntutan-tuntutan utama untuk beradaptasi terhadap
lingkungan politiknya (Johnson, 1966 : 140 – 141).
Pembahasan tentang negara ditilik
dari dimensi aturan permainan yang berlaku akan menghasilkan gambaran bagaimana
kekuasaan dalam sebuah negara beroperasi; yakni meliputi karakteristik, pola-pola
kewenangan, dan struktur kekuasaan itu tersusun. Pembahasan dari dimensi
pemerintahan adalah terfokus pada masalah bagaimana kebijakan umum dan
keputusan kolektif dibuat serta diambil, yang kemudian dilaksanakan dalam suatu
negara. Sementara itu, penelaahan dari dimensi komunitas politik lebih
menitikberatkan kepada pola hubungan antara kewenangan umum dengan civil society (yang termasuk dalam
kategori ini adalah hak-hak dan kewajiban warga negara, baik secara individual
maupun kelompok) dalam masyarakat politik (state-society
relationship).
Ketiga tingkat pembahasan tersebut
bersifat sekuensial dan konsekuensial. Artinya, dari eksplorasi yang
menghasilkan tipe rejim tertentu, pada tahap berikutnya dapat digunakan untuk
menjelaskan bagaimana mekanisme pemerintahan ini, akan dapat disusun suatu pola
hubungan antara negara dengan masyarakatnya.
Stocpol (1985) mengatakan bahwa
teori-teori tentang negara dalam ilmu-ilmu sosial dapat dibagi dalam dua
pendekatan besar, yakni society-centered,
dan state-centered. Perbedaan pokok
antara kedua pendekatan ini adalah terletak pada bagaimana keberadaan negara (state) vis-à-vis warga negaranya (civil society).
Asumsi dasar dari pendekatan society centered menyatakan bahwa negara
merupakan arena kompetisi dan pertarungan kepentingan-kepentingan
masyarakatnya. Dalam pandangan ini, negara adalah organ yang terlibat sebagai
sekedar “alat”. Dengan sendirinya, negara dalam hal ini merupakan organ yang
netral dan tidak otonom.
Sebagai organ yang memiliki otonomi
relatif, negara bukan merupakan organ yang netral. Akan tetapi, ketidaknetralan
negara bukan disebabkan oleh pengaruh-pengaruh masyarakatnya semata (karena
tidak otonom), melainkan negara ternyata juga mempunyai kepentingan dan dalam
perilakunya selalu berorientasi kepada pencapaian kepentingan sendiri.
Pendek kata, dapat dirumuskan bahwa
pandangan society-centered melihat
negara hanya sebagai “arena”, sementara itu pandangan state-centered berasumsi
bahwa negara adalah “aktor” politik. Di samping itu, teori-teori yang dikembangkan
di Eropa dan Amerika Serikat, yakni perspektif pluralis dan
structural-fungsional termasuk dalam katagori society-centered. Termasuk dalam kubu ini adalah pandangan Marxis
klasik tentang negara yang menyatakan
bahwa negara alat dari kelompok ekonomi dominan (kaum borjuis), yang
dipergunakan untuk mempertahankan dominasinya. Sedangkan teori-teori Marx yang
dimodifikasi sehingga menjadi aliran yang dikenal dengan dengan Neo-Marxist dan
pendekatan struktural non-Marxist (Weberian) termasuk dalam kubu state-centered (Stocpol, 1985).
2.
Masyarakat
(Civil Society)
Istilah civil society banyak
padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu antara lain masyarakat warga atau
kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab atau berbudaya, dan yang paling
populer adalah masyarakat madani.
Wacana tentang civil society yang
mulai berkembang sejak tahun 1990-an setelah mengalami kemajuan yang demikian
pesat. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah era baru (new era) dalam diskursus ilmu sosial di negara yang sebelumnya
menganut sistem politik otoriter, terutama di negara Dunia Ketiga seperti
Indonesia, sehingga dengan perkembangan civil
society menandakan adanya enlightment
atau pencerahan. Bergeraknya wacana civil
society dapat dikatakan sebagai tanda-tanda jaman yang mulai berubah dari
otoritarian-diktatorian ke arah yang relatif lebih baik, sekalipun mungkin
belum dapat dikatakan demokratis. Tetapi
dari wacana civil society yang terus
berkembang, agaknya perkembangan ke arah demokrasi sebuah bangsa akan mulai
tampak (Parera dan Koekertis, 1999 : 157).
Upaya untuk membangun civil
society harus mengikutsertakan semua kelompok masyarakat dengan mengarah
terhadap terwujudnya aktif semua elemen masyarakat. Konsep pembangunan juga
harus diubah dari program top down
menjadi program bottom up. Dengan
demikian pembangunan tersebut didasari oleh konsep “dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat”. Partisipasi masyarakat secara aktif mulai dari proses
perencanaan masyarakat madani yang penuh dengan ketentraman dan kedamaian.
Pemerintah akan memfasilitasi kebutuhan masyarakat melalui pembangunan
infrastruktur ataupun melalui penyediaan hukum dan perundang-undangan.
Civil society dapat
didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan
bercirikan antara lain : kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self-generating), dan
keswadayaan (self-supporting),
kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan dengan norma-norma
atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya (Hikam, 1999 : 3).
Civil society secara
institusional bisa diartikan sebagai pengelompokan dari anggota-anggota
masyarakat sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter
bertindak aktif dalam wacana dan praktis mengenai segala hal yang berkaitan
dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya.
Termasuk didalamnya adalah jaringan-jaringan, pengelompokan-pengelompokan
sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga, organisasi-organisasi sukarela
(termasuk partai politik), sampai dengan organisasi-organisasi yang mungkin
pada awalnya dibentuk oleh negara, tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu
sebagai perantara dari negara di satu pihak dan individu dan masyarakat di
pihak lain (Hikam, 1999 : 65)
Walker (1995) mengemukakan bahwa Civil
society merupakan suatu space
atau ruang yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak
lain, dan dalam ruang tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat
suka rela dan terbangun sebuah jaringan hubungan diantara asosiasi tersebut.
Asosiasi tersebut bisa dalam bentuk bermacam-macam, ikatan pengajian,
perkumpulan gereja, koperasi, kalangan bisnis, rukun tetangga dan rukun warga,
ikatan profesi, LSM, dan lain sebagainya, hubungannya dikembangkan atas dasar
toleransi dan saling menghargai satu sama lain.
Civil society merupakan
suatu bentuk hubungan antara negara dengan sejumlah kelompok sosial, misalnya
keluarga, kalangan bisnis, asosiasi masyarakat dan gerakan sosial yang ada
dalam negara, namun sifatnya independen terhadap negara (Eisenstadt dalam
Lipset, 1995 : 240). Jadi, civil society
adalah sebuah masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok, dalam
negara yang mampu berinteraksi dengan negara secara independen.
Lebih lanjut Eisenstadt (dalam Lipset, 1995 : 240) menyatakan, bahwa
masyarakat tersebut bukanlah masyarakat yang secara mudah kita artikan. Tetapi
masyarakat yang memiliki komponen tertentu sebagai syarat adanya civil society itu. Komponen tersebut
meliputi empat hal : (1) otonomi; (2) akses masyarakat terhadap lembaga negara;
(3) arena publik yang bersifat otonom; dan (4) arena publik tersebut terbuka
bagi semua lapisan masyarakat.
3.
Sektor
Swasta (Market / Privat Sector)
Mengacu pada istilah Williamson & Barney dan Oucki (dalam
Tjokroamidjojo, 2000 : 9) dikemukakan bahwa “good governance” dapat dicapai melalui pengaturan yang tepat dari
fungsi pasar (market) dengan fungsi
organisasi termasuk organisasi publik sehingga dicapai transaksi-transaksi
dengan biaya transaksi yang lebih rendah.
Lebih lanjut Tjokroamidjojo (2000 : 9) mengungkapkan bahwa mekanisme
pasar dan demokrasi menjadi saringan pengambilan keputusan masyarakat yang
memberikan medan persaingan yang sama (a
level playing field) bagi semua, untuk melakukan kegiatan (usaha) dalam
hidup bermasyarakat. Sedangkan tipe ideal good
governance adalah dimana terjadi suatu pengurusan yang compatible yang saling mendukung antara : ekonomi pasar (mekanisme
pasar yang sehat/fair), rule of law dan concern for environment.
Giddens (1999 : 75) menawarkan alternatif politik jalan ketiga (the third way) khususnya tentang
demokrasi sosial (social democracy)
yang pada intinya menyatakan, bahwa pemerintah memiliki sekumpulan tanggung
jawab bagi warganya dan warga negara yang lainnya, termasuk perlindungan atas
mereka yang lemah. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan
perlindungan terhadap pelaku pasar yang lemah (pengusaha kecil, petani dan
pengusaha menengah) atau yang lebih dikenal dengan “ekonomi kerakyatan”,
sehingga tercipta suatu mekanisme pasar yang berkeadilan sehingga memungkinkan
setiap warga masyarakat untuk bebas berusaha sesuai keahlian dan kemampuannya
tanpa campur tangan pemerintah sepanjang tidak melanggar norma-norma persaingan
sehat (fair competition).
Di sisi lain Abdul Wahab (1999) memperingatkan bahwa “proteksi politik
terhadap ekonomi rakyat dalam implementasinya hendaklah dilakukan dengan arif,
jangan sampai menimbulkan dampak yang merugikan (counter productive), semisal mendistorsi mekanisme pasar”.
Ada anggapan bahwa sektor swasta (privat
sector) adalah bagian dari masyarakat. Namun demikian sektor swasta dapat
dibedakan dengan masyarakat karena sektor swasta mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan-kebijakan sosial, politik dan ekonomi yang dapat menciptakan
lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan kalangan dunia usaha. Adapun yang
dimaksud dengan sektor swasta adalah meliputi perusahaan-perusahaan swasta yang
bergerak diberbagai bidang dan sektor informal lain di pasar (LAN dan BPKP,
2000 : 6).
Daftar Pustaka
Brautigam, Deborah,
1991, Governance and Economy : A Review;
Policy Research Working Papers, World Bank, Washington DC.
Bhatta, Gambhir, 1996, "Capacity Building at the Local Level
for Effective Governance; Empowerment Without Capacity is Meaningless”;
Paper presented in the International Conference on Governance Innovation:
Building the Government-Citizen Business Partnership, October 20-23, Manila,
Philippines.
Dahl, Robert A., 1985, Dilema Demokrasi Pluralis : antara Otonomi dan Kontrol, Rajawali
Pers, Jakarta.
Giddens, Antthony,
1999, The Third Way: Jalan Ketiga
Pembaharuan Demokrasi Sosial, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hikam, Mohammad AS.,
1999, Demokrasi dan Civil society, Pustaka LP3ES,
Jakarta.
Kristiadi, J. B.,
1997, Perspektif Administrasi Publik
Menghadapi Tantangan abad 21, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tidak
Tetap dalam Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Padjajaran, tanggal 6 Oktober 1997, Bandung, Universitas
Padjajaran.
LAN dan BPKP, 2000, Akuntabilitas dan
Good Governance – modul 1 sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (AKIP), Jakarta
Paquet, Gilles, 1994,
"Paradigm of Governance",
dalam Canadian Centre for Management Development (1994), Rethinking Government, The Dewar Series: Perspective on
Public Management, Exploration no. 2, Ministry of Supply and Services Canada,
Canada
Tjokroamidjojo,
Bintoro, 2000, Good governance ‑
Paradigma Baru Manajemen Pembangunan, Makalah dipresentasikan dalam rangka
Wisuda Sarjana S1 XIII Universitas Pawyatan Daha Tahun Akademik 1999/2000,
Kediri.
Tussman, Joseph,
1989, The Barden of Office: Agamemnon and
Other Losers, Talon Books, Washington DC.