ARTI PENTING PENDIDIKAN ANAK
Dalam Islam, berbicara mengenai pendidikan tidak dapat dilepaskan dari asal muasal manusia itu sendiri. Kata "pendidikan" yang dalam bahasa arabnya disebut "tarbiyah" (mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan) berakar satu dengan kata "Rabb" (Tuhan). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah sebuah nilai-nilai luhur yang tidak dapat dipisahkan dari, serta dipilah-pilah dalam kehidupan manusia. Terpisahnya pendidikan dan terpilah-pilahnya bagian-bagiannya dalam kehidupan manusia berarti terjadi pula disintegrasi dalam kehidupan manusia yang konsekwensinya melahirkan ketidak-harmonisan dalam kehidupannya itu sendiri.
Al Qur'an menyatakan bahwa komposisi penciptaan yang sempurna ini (ahsanu taqwiim) dan diistilahkan dengan "fithrah Allah" (insaniyah/kemanusiaan), tidak mungkin terganti atau terubah. Jika dasar kemanusiaan (komposisipenciptaan/fithrah) manusia tidak dapat berubah dan berganti, lalu apa arti dari suatu pendidikan?
Mendidik atau "rabba" bukan berarti "mengganti" (tabdiil) dan bukan pula berarti "merubah" (taghyiir). Melainkan menumbuhkan, mengembangkan dan menyuburkan, atau lebih tepat "mengkondisikan" sifat-sifat dasar (fithrah) seorang anak yang ada sejak awal penciptaannya agar dapat tumbuh subur dan berkembang dengan baik. Jika tidak, maka fithrah yang ada dalam diri seseorang akan terkontaminasi oleh "kuman-kuman" kehidupan itu sendiri. Kuman-kuman kehidupan inilah yang diistilahkan oleh hadits tadi dengan "tahwiid" (mengyahudikan) "tanshiir" (menasranikan) dan "tamjiis" (memajusikan). Pada hadits yang lain disebutkan "ijtaalathu as Syaithaan" (digelincirkan oleh syetan).
Kuman-kuman kehidupan atau meminjam istilah hadits lain "duri-duri perjalanan" (syawkah) tentu semakin nyata dan berbahaya di zaman dan di mana kita hidup saat ini. Masalahnya, apakah kenyataan ini telah membawa kesadaran bagi kita untuk membentengi diri dan keluarga kita?
AL QUR'AN DAN HADITS SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN ANAK
Tantangan berat dalam mendidik anak pada saat ini adalah menghindarkannya dari penyakit ”Hubbu ad Dunya wa karaahiyat al Maut” (Cinta dunia dan benci mati). Cinta dunia yang berlebihan ini merupakan akibat dari tertanamnya faham materialisme dalam diri kita yang melahirkan sikap-sikap seolah-olah kita akan hidup seribu tahun lagi. ”Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya” (QS. Al Humazah: 2-3).
Untuk menghadapi penyakit kejiwaan tersebut sangatlah penting menempatkan nilai-nilai Islam sebagai ujung tombak pendidikan anak. Para orang tua harus meneladani Nabi Ibrahim AS dan Ya’qub AS yang senantiasa mewasiatkan anak-anaknya tentang agama ini. "Sungguh Allah telah memilih bagimu agama ini, maka janganlah sekali-kali kamu mati kecuali telah Islam secara benar" (QS: Al Baqarah: 132). Dalam QS. Al Baqarah 133 disebutkan bahwa Nabi Ya'qub AS sangat memperhatikan aqidah anak-anaknya apabila beliau wafat. Beliau menanyakan: "madzaa ta'buduuna min ba'di" (Apa gerangan yang akan kamu sembah setelah kematianku?). Bandingkan dengan kepedulian banyak orangtua saat ini yang lebih cenderung menanyakan anaknya dengan kalimat "maadza ta'kuluuna min ba’di" (apa yang akan kamu makan setelah aku meninggal?).
Dasar-dasar pendidikan anak dalam Islam dapat disimpulkan dari berbagai ayat, antara lain QS: Luqman: 12 - 19 dan QS: As Shafaat: 102, serta berbagai hadits Rasulullah SAW.
POKOK PENDIDIKAN ANAK DALAM KISAH LUQMAN
Dalam Kisah Luqman digambarkan bahwa anak adalah bagian dari keni'matan Ilahi yang menjadi cobaan (fitnah) atasnya. Oleh sebab itu Luqman menanamkan pendidikan kepada anaknya sebagai manifestasi kesyukuran terhadap Allah pemberi nikmat. Pokok-pokok pendidikan anak yang dikemukakannya adalah:
1. Menanamkan nilai "tauhidullah" dengan benar.
2. Mengajarkan "ta'at al waalidaen" (mentaati kedua orang tua), dalam batas-batas ketaatan kepada Pencipta.
3. Mengajarkan "husnul mu'asyarah" (pergaulan yang benar) atas dasar keimanan hari berbangkit, sehingga pergaulan tersebut memiliki akar kebenaran dan bukan kepalsuan.
4. Menanamkan nilai-nilai "Takwallah".
5. Menumbuhkan kepribadian yang memiliki "Shilah bi Allah" yang kuat (dirikan shalat).
6. Menumbuhkan dalam diri anak "amr ma'ruf-nahi munkar” (kepedulian sosial) yang tinggi.
7. Membentuk kejiwaan anak yang kokoh (Shabar).
8. Menumbuhkan "sifat rendah hati" serta menjauhkan "sifat arogan".
9. Mengajarkan "kesopanan" dalam sikap dan ucapannya.
METODOLOGI DIALOGIS DALAM MENDIDIK ANAK (KISAH IBRAHIM AS. DAN ISMAIL AS.)
”Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”. (QS. As Shaaffaat: 102). Ayat ini mengajarkan "metodologi dialogis" dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS terlibat dalam suatu diskusi yang mengagumkan. Bukan substansi dari diskusi mereka yang menjadi perhatian kita. Melainkan approach/cara pendekatan yang dilakukan oleh Ibrahim dalam meyakinkan anaknya terhadap suatu permasalahan yang sangat agung itu. Kesimpulan ini pula menolak anggapan sebagian orang kalau Islam mengajarkan ummatnya otoriter, khususnya dalam mendidik anak.
POKOK PENDIDIKAN ANAK MENURUT RASULULLAH SAW
Pendidikan hendaknya dimulai sejak sedini mungkin, sebagaimana Hadits Rasulullah berikut ini: "Suruhlah anak-anak kamu shalat jika mereka berumur tujuh tahun. Dan pukullah mereka jika telah berumur sepuluh tahun (dan masih tidak melakukannya)". Pendidikan sejak dini akan menanamkan kebiasaan dalam diri anak yang akan mendukung kesadaran penuh jika anak telah mencapai tingkat balighnya. Beberapa pokok pendidikan anak menurut Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
1. Tegakkah shalat berjama'ah di rumah tangga masing-masing. Rasulullah SAW bersabda: ”Sinarilah rumah kamu dengan shalat". Menghidupkan shalat berjama’ah di rumah akan memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan kejiwaan seorang anak.
2. Tanamkan Al Qur'an dalam diri anak sejak sedini mungkin mengingat Al Qur'an adalah "Syifaa limaa fis Shuduur" (obat terhadap berbagai penyakit jiwa) dan ”Nuur” (cahaya/pelita hati). Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang tidak ada Al
Qur'an di hatinya maka ia seperti rumah runtuh" (hadits)
Qur'an di hatinya maka ia seperti rumah runtuh" (hadits)
3. Membiasakan praktek-praktek sunnah dalam kehidupan keseharian. Misalnya makan dengan membaca "Bismillah" dan doa, mengakhirinya dengan "Al Hamdulillah" dan doa, masuk/keluar rumah dengan salam, dll. Menghapalkan doa-doa sejak sedini mungkin memberikan pengaruh besar dalam perkembangan kejiwaan anak.
4. Hendaknya para orang tua menjadi "tauladan" (uswah) dalam kehidupan anak-anak mereka. Hidupkan agama Allah dalam diri kita, keluarga kita, insya Allah dengan izinNya anak-anak akan tumbuh dengan kesadaran keagamaan yang tinggi. Pepatah Arab mengatakan "Perbaiki dirimu, niscaya manusia akan baik denganmu".
5. Memperbanyak doa. Bagaimanapun juga usaha manusia sifatnya terbatas. Namun dengan pertolongan Allah, sesuatu dapat berubah di luar perkiraannya. Oleh sebab itu, doa dalam hidup kita sangat penting untuk menunjang usaha-usaha yang kita lakukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar