Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 104 (dalam Widjaja, 2001 :194), menjelaskan bahwa
:
Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi
mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan Desa
Dalam
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum
Pengaturan Mengenai Desa yang dikutip oleh Suhartono (2000 :200-201),
secara lebih terperinci menyatakan:
Badan Perwakilan Desa adalah badan perwakilan yang terdiri
dari pemuka-pemuka masyarakat di desa yang berfungsi mengayomi adat istiadat,
membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.
Dari kedua
kutipan di atas yang merupakan dasar hukum yang membidani keberadaan Badan
Perwakilan Desa (BPD) tersirat suatu makna yang memposisikan BPD sebagai salah
satu unsur dalam pemerintahan desa, yaitu sebagai badan perwakilan di desa.
Apabila dikaitkan dengan konsepsi yang dikemukakan oleh filosof Perancis, Montesquieu (dalan Arief Budiman, 2002 : 35-36), yang
membagi kekuasaan atas tiga bidang yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif,
maka Kepala Desa merupakan pemegang kekuasaan eksekutif di desa sedangkan BPD
sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Dengan demikian, bila berbicara mengenai
konsep BPD secara otomatis akan berhubungan pula konsep badan
perwakilan/legislatif, maka secara ringkas akan dikemukakan beberapa konsep
tentang badan perwakilan, fungsi-fungsi yang diembannya dan posisinya dalam praktek pemerintahan
khususnya hubungan antara badan legislatif dan eksekutif.
Prof. Miriam
Budiardjo (1982 : 173) menguraikan pengertian lembaga legislatif sebagai
berikut "Lembaga legislatif atau membuat Undang-undang. Anggota-anggotanya
dianggap mewakili rakyat, maka dari itu sering dinamakan Dewan Perwakilan
Rakyat ; nama lain yang sering dipakai adalah Parlem en”.
Dengan
demikian secara teoritis, Badan legislatiflah yang merumuskan kemauan rakyat
atau kemauan umum dengan jalan menetapkan kebijaksanaan umum (publik policy)
yang mengikat seluruh masyarakat. Undang-undang yang dibuat harus mencerminkan
kehendak dari rakyat tersebut. Dengan demikian, secara singkat, dapat dikatakan
bahwa badan legislatif merupakan badan pembuat keputusan/kebijakan yang
menyangkut kepentingan umum.
Badan
legislatif merupakan suatu badan perwakilan. Konsep perwakilan ini sendiri
dapat diartikan sebagai seseorang mewakili orang lain. Pengertian ini pada
hakekatnya, adalah suatu istilah modern sebab, dimasa Yunani Kuno, tidak
dikenal istilah tersebut, walaupun para warga negara kota memilih sejumlah
pejabat yang, kadang-kadang, mengirimkan seorang duta yang, pada dasarnya dapat
dikategorikan sebagai perwakilan. Kemudian dalam literatur Kristen, pada abad
pertengahan, dikenal adanya istilah “Perwakilan” namun belum mengandung makna
yang menyangkut sebagai delegasi atau agen/wali (Arbi Sanit, 1985 :140)
Arbi Sanit (1985 : 43) mendeskripsikan
esensi pembentukan badan perwakilan sebagai berikut :
Ide pembentukan badan perwakilan rakyat pada dasarnya bermula dari
keperluan masyarakat akan hukum sebagai sarana untuk mengatur kehiduapan
bersama di samping kebutuhannya akan badan yang membuat dan memberlakukannya.
Sejalan dengan ide tersebut penguasa suatu negara secara keseluruhan membuat
hukum atas nama rakyatnya dan memberlakukannya untuk menyelenggarakan kehidupan
bersama.
Sementara Boboy (1994 : 17) menggariskan
pentingnya pandangan Rousseau melanjutkan tradisi demokrasi langsung Yunani
Kuno tetapi pelaksanaan demokrasi langsung
terhambat oleh perkembangan masyarakat yang semakin banyak dengan tempat
tinggal yang menyebar serta luasnya wilayah suatu negara. Sebagai ganti dan
untuk meneruskan gagasan Rousseau ini maka lahirlah demokrasi tidak langsung
atau indirect democracy yang disalurkan melalui lembaga perwakilan yang
terkenal dengan nama “Parlemen”.
Kedua
pandangan tersebut di atas mengemukakan beberapa pokok penting tentang konsepsi
badan perwakilan, diantaranya yaitu :
1.
Pembentukan
lembaga perwakilan bermula dari adanya kebutuhan masyarakat artinya secara
negatip dapat dikatakan keberadaan lembaga tersebut tidak boleh dipaksakan oleh
pihak manapun;
2.
Masyarakat
menyadari pentingnya aturan dalam kehiduapan bersama sehingga perlu
keterlibatan dan kesepakatan semua pihak untuk membuat peraturan atau hukum
tersebut;
3.
Pembuatan
hukum tersebut harus didasari pada persetujuan rakyat artinya badan perwakilan
tidak boleh membuat hukum yang bertentangan dengan kehendak masyarakat secara
keseluruhan.
Pengertian
tersebut di atas memperlihatkan pula adanya dua subyek dalam konteks badan
perwakilan/parlemen/legislatif yakni pihak yang diwakili dan pihak yang mewakili.
Kedua pihak ini memiliki hubungan politik, fungsional dan moral. Hubungan
politik dalam arti kedudukan seorang wakil ditentukan oleh dukungan yang
diwakili (konstituen) artinya keberadaannya di lembaga perwakilan karena
dipilih oleh sekelompok orang. Hubungan fungsional dalam arti anggota lembaga perwakilan tersebut berfungsi
menyalurkan kepentingan masyarakat dan melindungi masyarkat dari kebijakan
pemerintah yang merugikannya sedangkan secara moral seorang wakil selalu
berpihak pada kepentingan rakyat yang diwakili dan tidak boleh menjadikan rakyat sebagai alasan untuk memenuhi
kepentingan politik pribadinya.
Dengan
memperhatikan titik berat penyelenggaraan otonomi pada tingkat Kabupaten/Kota,
maka pemerintah Kabupaten/Kota diberikan
kewenangan untuk melaksanakan pengaturan lebih lanjut mengenai desa dengan
peraturan Daerah Kabupaten yang dalam penyusunannya wajib mengakui dan
menghormati asal usul dan adat istiadat desa (Suhartono, 2000 :201). Berdasarkan ketentuan tersebut, setiap
Pemerintah Kota/Kabupaten membuat kebijakan tersediri mengenai desa yang antara
lain dalam hal Keanggotaan BPD yang belum diatur dalam Undang-undang maupun
Keputusan Menteri Dalam Negeri. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten Bangkalan
melalui Peraturan Daerah Nomor 24 tahun 2000 tentang Badan Perwakilan Desa pada
pasal 2 menyebutkan, bahwa :
Jumlah anggota
BPD ditetapkan berdasarkan jumlah jiwa pilih yang ada di Desa yang
bersangkutan, dengan ketentuan :
a.
Jumlah jiwa pilih sampai dengan 2000 jiwa, 7 orang
anggota;
b.
2001 sampai dengan 3000 jiwa, 11 orang anggota;
c.
Lebih dari 3000 jiwa, 15 orang anggota.
(dalam Himpunan Perda, 2000 : 142).
Mengenai
hubungan antara wakil dan yang terwakili, Gilbert Abcarian (dalam Boboy,
1994 : 23) yang mengemukakan empat tipe hubungan, yaitu :
a.
Sang wakil bertindak sebagai wali (truste). Dalam hal ini sang wakil bebas mengambil keputusan atau
bertindak berdasarkan pertimbangannya sendiri tanpa harus berkonsultasi dengan
yang diwakilinya.
b.
Sang wakil bertindak sebagai utusan (delegate). Maksudnya ialah bahwa sang
wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya,... selalu
mengikuti perintah atau instruksi atau petunjuk dari yang diwakilinya dalam
melaksanakan tugasnya.
c.
Sang wakil bertindak sebagai “politico”. Artinya
bahwa sang wakil dalam hal ini kadang-kadang bertindak sebagai wali (truste) dan adakalanya bertindak sebagai
utusan (dekegate).
d.
Sang wakil bertindak sebagai “partisan”. Dalam
hal ini wakil bertindak sesuai dengan kehendak atau program dari organisasi
(partai) sang wakil.
Sedangkan Hoorgerwerf (dalam Boboy 1994 : 23-24) yang membagi
hubungan tersebut dalam lima model , sebagai berikut :
a.
Model utusan (delegate);
di sini sang wakil bertindak sebagai yang diperintah atau kuasa usaha yang
menjalankan perintah dari yang diwakilinya.
b.
Model wali (truste);
di sini sang wakil bertindak sebagai orang yang diberi kuasa atau orang yang
memperoleh kuasa penuh dari yang diwakilinya. Jadi, dia dapat bertindak
berdasarkan pendiriannya sendiri.
c.
Model politocos; di sini sang wakil
kadang-kadang bertindak sebagai delegasi dan kadang-kadang bertindak sebagai
kuasa penuh.
d.
Model kesatuan; di sini anggota parlemen dilihat sebagai wakil seluruh rakyat.
e.
Model penggolongan (diversifikasi) di sini
anggota parlemen dilihat sebagai kelompok teritorial, kelompok sosial atau
kelompok politik tertentu.
Pendapat kedua ahli
tersebut di atas dapat dipilih Badan Perwakilan Desa dalam mengembangkan jenis hubungan
dengan yang diwakilinya. Dua model yang mendekati realitas masyarakat pedesaan
adalah model politico sesuai pendapat Abcarian
ataupun politicos menurut Hoorgerwerf.
Model ini dapat menciptakan keseimbangan hubungan antara wakil dengan yang
diwakili karena memberikan porsi yang proporsional antara wakil sebagai pribadi
yang memiliki pikirannya sendiri dan
pada saat yang sama wakil dapat pula mengatasi kepentingan masyarakat. Pilihan
hubungan tersebut dapat pula mempertimbangkan model kesatuan yang dari sisi
tertentu sesuai dengan kondisi desa dan
model parlemen desa yang wakilnya tidak terpolarisasi dalam partai politik.
Jadi, setiap anggota Badan Perwakilan Desa dapat mewakili kepentingan seluruh
masyarakat yang mendiami wilayah desa tanpa harus terjebak dalam fokus
perhatian wilayah, partai atau kelompok.
Hubungan wakil
dengan yang diwakili dalam praktek pemerintahan dalam arti luas termanifestasi
dalam peran dan sejumlah fungsi yang dimiliki lembaga perwakilan. Peran lembaga
perwakilan dalam pandangan Arbi Sanit
(1985 : 46 – 47) terbagi atas
dua, yaitu “pertama, peran lembaga ini sebagai badan pembuat hukum menyebabkan
kita mengenalnya selaku Dewan atau Badan Legislatif …; kedua, peranan lembaga ini sebagai
himpunan wakil rakyat yang membuatnya dikenal sebagai badan perwakilan (representative)
…”
Sementara Arbi Sanit (1985 : 6 – 23) lebih
mengfokuskan perhatiannya pada beberapa
fungsi bidang perwakilan sebagai berikut :
1.Perundang-undangan; ... parlemen
menunjukkan bahwa dirinya sebagai rakyat memasukkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat yang diwakilinya ke dalam pasal-pasal undang-undang yang
dihasilkannya.
2.Keuangan ; … badan ini berwenang
menentukan pemasukan dan pengeluaran uang negara yang pada hakekatnya uang
rakyat.……eksekutif mengajukan rancangan pemasukan dan pengeluaran yang diungkap
dalam anggaran, namun parlemen tetap mempunyai kewenangan untuk merevisi atau mengubahnya. Setidak-tidaknya
badan perwakilan memberikan pengesahan kepada rancangan anggaran eksekutif.
Kesemuanya itu merupakan fungsi keuangan badan perwakilan rakyat.
3.Pengawasan ; ... pengawasan yang
dilakukan oleh badan perwakilan berkenaan dengan keputusan yang telah
dikeluarkannya dalam bentuk undang-undang. Eksekutif dan yudikatif bertindak
sebagai pelaksana perlu dinilai apakah cukup tepat melaksanakan keputusan
tersebut. Kedua pengawasan itu merupakan konsekuensi dari kekuasaan rakyat yang
dioperasikannya.
Boboy (1994 : 29) membagi fungsi badan perwakilan atas tiga yaitu :
1)
Fungsi perundang-undangan, Yang dimaksudkan dengan
fungsi perundang-undangan adalah membentuk undang-undang biasa seperti Undang-undang Pemilu,
Undang-undang Kewarganegaraan, Undang-undang Pajak, dan membentuk Undang-undang
tentang APBN serta meratifikasi perjanjian-perjanjian dengan luar negeri dan
sebagainya.
2)
Fungsi pengawasan, fungsi yang dilakukan lembaga
perwakilan untuk mengawasi eksekutif/pemerintah.
3)
Sarana pendidikan politik, rakyat dididik untuk
mengetahui persoalan yang menyangkut kepentingan umum melalui
pembahasan-pembahasan, pembicaraan-pembicaraan serta kebijakan-kebijakan yang
dilakukan oleh lembaga perwakilan yang dimuat di media massa, atau melalui
pemberitaan di media elektronik, agar rakyat mengetahui dengan sadar akan hak
dan kewajiban serta tanggung jawabnya sebagai warga negara.
Selain itu,
dalam Undang-undang Nomr 22 Tahun 1999 pasal 104 (dalam Suhartono, 2000 : 200) secara
jelas menyebutkan fungsi BPD adalah :
1)
Mengayomi adat istiadat;
2)
Membuat peraturan desa;
3)
Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; serta
4)
Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan desa.
Fokus utama kajian tulisan ini adalah melihat fungsi badan perwakilan pada
Badan Perwakilan Desa di bidang pengawasan. Pengawasan terhadap jalannya pemerintahan menjadi sangat
penting karena adanya kecenderungan kekuasaan yang bersifat korup, maka upaya
pencegahan menjadi sangat esensial. Pengawasan yang dilakukan Badan Perwakilan
Desa sebagaimana juga pengawasan yang dijalankan lembaga perwakilan lebih tinggi
merupakan pengawasan politik yang mengambil
berbagai macam bentuk..
Bentuk-bentuk pengawasan politik sejalan dengan pendapat Boboy dan Arbi Sanit (1985 : 29) yang
menguraikan secara lebih terinci sebagai berikut :
Berbagai bentuk
pengawasan politik yang dapat
dimanfaatkan oleh lembaga ini ialah bertanya, interpelasi, angket dan
mosi. Apabila bertanya dimaksudkan sebagai usaha badan perwakilan untuk
mendapat keterangan mengenai suatu hal, peristiwa ataupun kejadian, maka
interpelasi merupakan pertanyaan Parlemen yang berkaitan dengan kebijaksanaan
eksekutif. Angket merupakan penelitian
yang dilakukan lembaga ini untuk menilai sebagian atau seluruh keputusan
yang dikeluarkan. Dan mosi pada
hakikatnya merupakan pernyataan lembaga ini akan ketidakpercayaannya
atau kepercayaannya terhadap kebijaksanaan maupun pejabat eksekutif.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa
peranan Badan Perwakilan Desa adalah rangkaian perilaku dan tindakan yang
dilakukan oleh Badan Perwakilan Desa sesuai dengan kedudukannya sebagai
penyalur aspirasi masyarakat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai
lembaga legislatif di desa.
Daftar Pustaka
Boboy, Max, 1994, Dewan
Perwakilan Rakyat Dalam Prespektif Sejarah dan Tata Negara, Sinar
Harapan, Jakarta.
Budiarjo, Miriam,
1982, Fungsi Legislatif dalam
Sistem Politik Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Budiman, Arief,
2002, Teori Kekuasaan Negara,
Gramedia, Jakarta.
Sanit, Arbi,
1985, Perwakilan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
Suhartono, dkk, 2000, Parlemen
Desa, Dinamika DPR Kelurahan dan DPR
Kelurahan Gotong Royong, Lapera Pustaka Utama, Jakarta.
Widjaja, H.A.W, 2000, Pemerintahan
Desa dan Administrasi Desa, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar