Selasa, 25 Januari 2011

TO BALO (ORANG BELANG)


Komunitas suku To Bentong  (To Balo) yang menurut legenda hanya ada di kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Suku ini berdiam di Desa Bulo-Bulo Kecamatan Pujananting, bahasa yang digunakan adalan bahasa Bentong, keunikan dari suku ini jumlahnya tidak lebih dari 9 orang.


Konon nenek moyang mereka adalah pemberani. Pada zaman kerajaan-kerajaan kecil, kerajaan ini memiliki raja yang gemar berburu kuda liar.

Pada suatu ketika, menurut masyarakat setempat, raja dan pengawalnya berburu di suatu hutan. Dalam perburuan itu para pengawalnya berhasil menangkap seekor kuda liar yang berwarna belang. Kuda itu kemudian digiring ke istana raja. Dalam perjalanan menuju istana, kuda itu tak pernah tenang, dan mengamuk. Apa saja yang ada didekatnya ditendang, bahkan setelah di istana, kerap kali pot-pot bunga halaman istana pecah dibuatnya.

Perilaku kuda ini, membuat raja tak tenang hingga, suatu ketika raja menyembarakan penjinakan kuda liar tersebut. Ia mengumumkan pada seluruh rakyatnya, barang siapa yang berhasil menjinakkan kuda itu, maka akan dikawinkan dengan anaknya. Maka berbondong-bondonglah segenap pemuda  di kerajaan itu untuk ikut dalam sayembara. Tapi rupanya tak ada yang berhasil. Seluruh pemuda tak ada yang berhasil menjinakkan kuda belang itu. Pada saat itu, ditengah kegagalan seluruh pemuda yang ikut sayembara, datanglah seorang pemuda pemberani. Dikisahkan, baru saja pemuda itu mendekat kuda itu sudah diam dan jinak.

Dengan keberhasilannya itu, sesuai dengan isi sayembara, dinikahkanlah ia dengan putri raja. Dalam setiap peperangan yang dipimpin oleh raja menghadapi kerajaan-kerajaan di sekitarnya, si pemberani selalu diikutkan dan mendampingi raja digaris depan. Konon si pemuda memiliki ilmu kebal yang anti senjata tajam dan api. Olehnya itu ia dikenal dengan julukan pemberani oleh masyarakat setempat.

Setelah sekian lama menempuh hidup bersama istrinya di istana, rupanya pemuda pemberani tak jua dikarunia anak. Suatu ketika ia bernazar, dan memohon kepada dewata agar diberi anak. Dalam nazarnya ia mengatakan “wahai dewata, berilah aku anak meskipun mirip kuda ini (kuda belang). Tak dinyana dewata mengabulkan permohonannya. Namun syahdan, anak yang dilahirkan sesuai pula dengan permintaannya, balo (belang-belang).

Demikianlah asal mula To Balo (Orang belang) menurut cerita masyarakat setempat, yang keturunannya hingga kini beranak pinak. Konon jumlah mereka selalu ganjil. Bila ada yang meninggal pasti ada yang lahir, atau sebaliknya. Kini mereka berjumlah tujuh orang, 1 orang anak laki-laki berumur 10 tahun, dua orang perempuan berstatus istri, dan empat laki-laki dewasa.

Pada dasarnya To Balo dalam hubungan sosial, sama saja dengan masyarakat di Desa Bulo-Bulo, juga menggunakan bahasa yang sama yaitu, bahasa Bentong (Paduan bahasa Makassar, Bugis dan Konjo). Cirinya untuk dikatakan sebagai kelompok adat tersendiri belum ada.

Dalam pandangan para akademis, To Balo sebenarnya bukanlah kelompok masyarakat yang khas sebagai suku tersendiri. Mereka hanya  satu rumpun keluarga yang mempunyai kelainan genetik (Pysical human specifik), hingga tubuh mereka belang.

Jika mereka menikah sesama belang dan melahirkan, anaknya belum tentu belang. Karena sifat belang yang muncul pada generasi berikutnya, memiliki kuantitas yang sama dengan generasi sebelumnya. Hal itu juga dapat dilihat pada keluarga mereka, dalam satu keluarga, biasanya mereka hanya melahirkan satu atau dua orang saja yang belang, selebihnya tidak. Atau bahkan tidak ada sama sekali.

Komunitas itu kini, mendiami wilayah pegunungan sebelah selatan Kota Barru yang berbatasan dengan Kabupaten Pangkep. Daerahnya kira-kira berada pada ketinggian 700-1000 meter dari permukaan laut.

Perjalanan dari Kota Barru menuju Desa Bulo-Bulo, dengan kendaraan roda empat dapat ditempuh dalam waktu 2 jam lebih. Bila musim hujan, bisa lebih dari waktu itu. Jalanan yang licin dan berlumpur, dipastikan akan merepotkan. Disamping itu, harus ekstra hati-hati karena disisi kanan jalanan terdapat jurang yang terjal.

Mereka hidup secara normal bersama kelompok masyarakatnya, bertani, berkebun dan membuat gula aren. Tak punya ilmu kebal atau keahlian menonjol yang membedakannya dengan manusia umumnya. Bila ingin bertemu dan berkumpul bersama mereka, seminggu sebelumnya harus berkirim surat ke desanya. Karena mereka hidup berpencar mengikuti keluarga masing-masing, antara bukti satu dengan lainnya.

Sumber : Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda & Olahraga Kab. Barru 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar